contoh Review jurnal psikologi lintas budaya
REVIEW JURNAL
“Mengikis Ketidakadilan Gender dalam Adat Bali”
Oleh:
Ni Ketut Sri Utari,SH.MH
Judul
|
Mengikis
Ketidakadilan Gender dalam Adat Bali
|
Jurnal
|
Jurnal Studi Jender SRIKANDI
Fakultas Hukum Universitas Udayana |
Volume
|
Vol.
7, No. 1 Januari 2008
|
Tahun
|
2008
|
Penulis
|
Ni Ketut Sri Utari,SH.MH
|
Latar
Belakang Masalah
|
Adat
bali yang dimaksud adalah meliputi, nilai, norma dan prilaku dalam masyarakat
Bali pada umumnya yang sangat dikenal dengan sistem kekeluargaan patrilinial.
Sistem kekeluargaan patrilineal sering diduga keras memberi peluang suburnya
budaya patriarkhi ( kekuasaan/ dominasi laki-laki).
Untuk
memahami sejauh mana adanya ketidak-adilan gender dalam adat Bali dan dimana
letaknya dan bagaimana cara mengikisnya merupakan masalah yang akan dibahas
dalam paper ini.
Penulis
adalah perempuan bali, yang hidup dalam lingkungan adat sejak kecil sampai
dewasa, sehingga pemikiran tentu telah terimbas konstruksi sosial, dan
kebetulan hidup dalam suasana harmonis, tidak pernah merasa konflik ataupun
merasa menjadi korban ketidak adilan gender.
|
Tujuan
Penelitian
|
Tujuan
utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
dan usaha untuk menjawab tudingan bahwa hukum adat Bali yang bias gender
menghasilkan ketidakadilan gender dalam praktek kehidupan masyarakat adat
Bali
|
|
|
Hasil
Penelitian
|
1.Semangat moral dalam Hukum Adat
Bali.
Tentang
kedudukan perempuan, seperti digambarkan dalam Kitab Suci Manawa Dharmacastra
Bab.III. sloka 58 dan 59
yang
intinya adalah anjuran mennghormati perempuan.
Manu
Smerti menggambarkan status perempuan dan laki-laki adalah sama (Manawa
Darmacastra IX, 96):
”
Untuk menjadi ibu perempuan diciptakan, dan untuk menjadi ayah laki-laki
diciptakan, karena itu upacara keagamaan ditetapkan dalam Weda untuk
dilakukan oleh suami dan istrinya.
96.”Tidak
ada perbedaan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat statusnya,
baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci.
Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama” Manu
Smerti mengumpamakan perempuan diumpamakan seperti bumi/ pertiwi/ tanah da
laki-laki adalah benih atau bibit, antara bumi dan bibit mempunyai kedudukan
dan peran yang sama dalam menciptakan kehidupan.
Sementara
untuk semangat kerja keras dalam Bhagawandgita Sloka III.5. menyebutkan:
“
Tidak seorangpun tidak bekerja walaupun untuk sesaat saja karena dengan tiada
berdayanya manusia dibuat bertindak oleh hukum alam”
“
Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab bekerja jauh lebih baik dari
tidak bekerja. Kalau kau tidak bekerja hidup sehari-haripun tidak mungkin.
(sloka .8).
Dalam
Kitab Sarasamuscaya ethos kerja terlihat pada penekanan adanya karmaphala
yaitu hasil dari perbuatan-perbuatan baik pada masa lampau sekarang maupun
yang akan datang. Setiap karma (perbuatan) pasti membuahkan hasil, baik buruk
hasilnya pasti tergantung pada karmanya”
Semangat
moral yang dipetik di atas pada prinsipnya menempatkan lelaki dan perempuan
dalam mitra yang sejajar. Spirit ini kemudian dituangkan dalam bentuk hukum
adat, khususnya dalam hukum kekeluargaan desa adat di Bali.
Dalam
hukum keluarga maka dianut sistem kekeluargaan garis keturunan “purusa “ yang
sesungguhnya tidak identik dengan laki-laki, karena ahli waris juga bisa
perempuan, khususnya bila dalam keluarga tidak memiliki anak laki-laki. Nah,
bila ada anak laki-laki dan perempuan, maka otomatis anak laki laki lah
sebagai ahli waris.
Di
sinilah letak pembedaan anak laki dan perempuan yang ada dalam keluarga. Pada
umumnya menurut menurut hukum waris Bali ada 3 macam ahli waris:
•
Pratisentana purusa (anak laki-laki);
•
Sentana Rajeg ( anak perempuan yang berstatus sebagai anak lelaki);
•
Sentana peperasan (anak angkat).
Dalam
hukum waris inilah yang sering digugat sebagai aturan yang bias Gender
2. Letak bias gender dalam Hukum Adat
Bali.
hubungan
gender dirumuskan dalam kitab suci Hindu yang menjadi dasar moral dan spirit
hukum Adat Bali. Bagaimana kemudian dituangkan dalam bentuk norma dalam hukum
adat, dan menghasilkan sistim kewarisan menurut garis “purusa”yang sepenuhnya
tidak identik dengan dengan garis lurus laki-laki, karena perempuanpun bisa
menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan
penerus keturunan keluarga. Tapi bila keluarga itu memiliki anak perempuan
dan laki-laki hanya anak laki-laki saja yang menjadi ahli waris. Inilah yang
dimaksud Ariani adanya bias gender dalam hukum adat bali.
Sangat
jelas sekali anak perempuan apalagi sudah kawin keluar, maka ia tidak berhak
mewaris dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab keluarga pihak suami selama
perkawinannya langgeng.
Gugatan
ketidak adilan gender biasanya terjadi bila ada kekayaan yang berlebih, di
sini anak perempuan baru merasakan ketidakadilan. Sebenarnya hukum adat juga
tidak melarang orang tua memberi hibah berupa tanah untuk anak perempuannya
yang kawin, inilah yang disebut dengan harta tatadan, tentu wewenang
sepenuhnya ada pada orang tua. Hukum adat Bali memberi peluang bagi orang tua
yang bijaksana bila ingin memberi harta kekayaan pada anak gadisnya. Adanya
bias gender dalam Hukum Adat Bali, tetap ada upaya hukum bagi orang tua yang
bersikap sensitif gender membantu anak gadisnya walaupun sudah kawin ke luar.
Barangkali
inilah jawaban mengapa perempuan Bali pada umumnya tidak melakukan protes,
tidak merasa menjadi korban dari hukum keluarga yang bias gender.
3. Upaya-upaya mengikis ketidakadilan
gender dalam adat bali.
Konswensi
dari tuntutan kesetaraan gender, berarti perempuan harus mandiri dan mampu
mengatasi persoalannya sendiri.
Kehadiran
UU Perkawinan (walaupun masih bias gender), adanya UU No. 39 Tahun 1999, UU
Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
melegakan perasaan perempuan bali. Ini memberi jaminan hukum pada perempuan
bali, yang mengalami ketidakadilan gender.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk mengikis ketidakadilan gender, adalah dengan
mengubah prilaku, yang menurut Talcott Parson yang paling mudah berubah dan
menyesuaikan dengan perkembangan baru.
Menurut
hemat penulis budaya patriarkhi dalam adat bali muncul pada tingkat prilaku,
oleh karena itu harus ada proses penyadaran pada semua individu.
Langkah-langkah yang sudah dan harus terus dilakukan adalah :
1)
Sosialisasi aturan-aturan hukum dan hak asasi manusia harus terus dilakukan.
Pemahaman terhadap UU Perkawinan, akan mencegah perempuan dari penipuan kawin
bohong-bohongan (menjadi simpanan), kasus hamil di luar nikah.
2)
Penyuluhan terutama pada anggota masyarakat lewat Desa Adat, perlunya
kesetaraan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan terutama
kesempatan untuk memperoleh pendidikan, di luar soal waris.
3)
Advokasi terhadap kekerasan dalam rumah tangga diusahakan oleh pemerintah
gratis, demikian juga biaya pengurusan perceraian di Pengadilan.
4)
Pencatatan perkawinan harus digalakkan, agar hak-hak perempuan dalam kasus
perkawinan dapat terlindungi.
5)
Untuk memberikan pelatihan keterampilan agar perempuan mandiri dari segi
ekonomi.
6)
Pelayanan kesehatan yang murah. ( Posyandu terus digalakkan)
7)
Memberi penyuluhan moral dan keagamaan lewat media massa, atau dalam
darmawacana di desa adat untuk menjaga mentalitas dan moralitas semua orang,
khususnya untuk perempuan agar tak cepat menyerah pada tekanan hidup, dengan
alasan ekonomi kemudian melacurkan diri dan dikejar-kejar petugas tramtib.
(Ini yang sering dtayangkan TV).
8)
Dan lainnya tergantung akar masalah ketidakadilan yang terjadi.
Penulis
tidak merekomendasikan perubahan terhadap hukum kekeluargaan
Jadi,
ada kepastian yang tegas tentang siapa yang harus bertanggung jawab, dan bila
ini dilalaikan semua warga dan kerabat, pasti akan mengingatkan dan mengecam
yang bersangkutan.
|
Kekuatan
Penelitian
|
Penelitian
ini dilakukan oleh seoang peneliti yang memang berasal atau tinggal di daerah
Bali.
|
Kesimpulan
Penelitian
|
1.
Hukum Adat Bali di bidang kekeluargaan dan waris, memang bias gender,
terutama hak untuk mewaris diutamakan pada anak laki-laki. Pengertian warisan
di Bali berbeda dengan warisan dalam hukum barat yang hanya bersifat material
dan juga bisa ditolak oleh pewaris, warisan menurut pengertian hukum adat
bali mengandung kewajiban dan hak baik bersifat material maupun immaterial.
Laki-laki Bali menerima kewajiban sebanding dengan hak-haknya demikian juga
anak perempuan tidak memiliki hak dan tidak pula memiliki kewajiban. Bila
prinsip “ Equality” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kesetaraan
(tidak harus sama), maka hukum adat bali telah mengatur kesetaraan hak dan
kewajiban antara anak laki-laki dan perempuan.
2.
Adanya bias gender dalam hukum adat Bali, secara teoritis memberi peluang
subur kekuasaan laki-laki dan memberi dasar yang kuat pada budaya patriarkhi.
Tapi untuk tataran praktek belum memiliki data hubungan langsung antara hukum
keluarga patrilinial dengan tingginya potensi kekerasan terhadap perempuan di
bali. Kalaupun banyak terjadi tidak sampai muncul ke wilayah publik,
tersimpan rapi dalam lingkungan domestik. Ini harus diteliti.
3.
Upaya untuk mengikis ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat Bali
adalah dengan perubahan prilaku; baik dalam keluarga, lingkungan sosial dan
lingkungan pemerintahan untuk lebih memberdayakan perempuan, sehingga
membantu para perempuan lebih mandiri baik dari segi moral psikologis. segi
ekonomi, pendidikan, politik, dan menciptakan budaya baru yang sensitif
gender. Karena hanya dengan kemandirian perempuan dalam semua aspek kehidupan
akan tercapai keadilan gender.
|
Comments
Post a Comment