MAKALAH PSIKOLOGI KLINIS TENTANG MENINGKATKAN KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tunagrahita merupakan salah satu macam dari anak berkebutuhan khusus. Soemantri (dalam Aftasony 2015) menyatakan bahwa istilah tunagrabita digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi serta ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita atau dikenal dengan sebutan anak keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut (dalam Aftasony 2015).
Anak yang mengalami retardasi mental dalam perkembangannya berbeda dengan anak-anak normal. Anak dengan reardasi mental mempunyai keterlambatan dan keterbatasan dalam semua area perkembangan sehingga mereka mengalami kesulitan untuk memiliki kemampuan dalam merawat diri sendiri dan cenderung memiliki ketergantungan dengan lingkungan terutama pada orang tua dan saudara-saudaranya. Untuk mengurangi ketergantungan dan keterbatasan akibat kelainan yang diderita anak retardasi mental, menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat dan kemandirian dalam merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dapat dilakukan dengan pendidikan khusus, latihan-latihan, memberikan pengetahuan dan ketrampilan tentang kegiatan kehidupan seharihari (Activity Daily Living/ADL) (Effendi dalam ). Oleh karena itu maka bimbingan keterampilan kehidupan sehari-hari menjadi kebutuhan dasar dalam proses pelayanan dan rehabilitasi sosial. Upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial tersebut diarahkan agar penyandang retardasi mental dapat mencapai suatu kemandirian dan mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat (dalam Aquari 2017).
Menurut Izzaty (2005) berpendapat, bahwa anak-anak yang tidak mandiri akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadiannya sendiri. Jika hal ini tidak segera teratasi, anak akan mengalami kesulitan pada perkembangan selanjutnya. Anak akan susah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak yang tidak mandiri juga akan menyusahkan orang lain. Anak-anak yang tidak mandiri cenderung tidak percaya diri dan tidak mampu menyelesaikan tugas hidupnya dengan baik. Akibatnya, prestasi belajarnya bisa mengkhawatirkan. 

 Perkembangan kemandirian merupakan masalah penting sepanjang rentang kehidupan manusia. Perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan fisik, yang pada gilirannya dapat memicu terjadinya perubahan emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara berfikir yang mendasari tingkah laku, serta perubahan nilai dalam peran sosial melalui pengasuhan orang tua dan aktivitas individu (Desmita, 2014)

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan, maka rumusan masalah pada psikoedukasi ini adalah bagaimana meningkatkan kemandirian anak tunagrahita

C. Tujuan 
Adapun tujuan dari psikoedukasi ini adalah memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang kemandirian anak tunagrahita



BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemandirian
1. Pengertian
Menumbuhkan kemandirian pada individu sejak usia dini sangatlah penting karena dengan memiliki kemandirian sejak dini, anak akan terbiasa mengerjakan kebutuhannya sendiri. Menurut Yusuf (2002:124), secara naluriah, anak mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi dependent (ketergntungan) ke posisi independent (bersikat mandiri). Anak yang mandiri akan bertindak dengan penuh rasa percaya diri dan tidak selalu mengandalkan bantuan orang dewasa dalam bertindak. 
Kemandirian diartikan sebagai suatu sikap yang ditandai dengan adanya kepercayaan diri dan terlepas dari kebergantungan (Chaplin, 1995), selanjutnya Benson dan Grove (2000) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemandirian adalah kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak terus menrus berada di bawah kontrol orang lain.Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak yang mandiri adalah anak yang mampu melakukan aktivitasnya sendiri tanpa banyak bergantung kepada orang lain. 

2. Ciri-Ciri Kemandirian
Seorang anak dikatakan mandiri bila ia memperlihatkan ciri-ciri, yaitu: a) percaya diri yang didasari oleh kepemilikan akan konsep diri yang positif; b) bertanggung jawab pada hal-hal yang dikerjakann dan hal ini dapat ditumbuhkan dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang tangung jawab; c) mampu menemukan pilihan dan mengambil keputusannya sendiri yang mana hal ini diperoleh dari adanya peluang untuK mengerjakan sesuatu, dan: d) mampu mengendalikan emosi dengan adanya kesempatan untuk berbuat dengan tidak banyak mendapatkan larangan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian
Kemandirian bukanlah semata-semata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir, melainkan dipengaruhi oleh hal-hal lain. Sehubungan dengan hal itu M. Ali dan Asrori (2004) menyatakan bahwa  kemandirian berkembang selain dipengaruhi oleh faktor intrinsik (pertumbuhan dan kematangan individu itu sendiri) juga oleh faktor ekstrinsik (melalui proses sosialisasi di lingkungan tempat inidividu berada. Faktor intrinsik seperti kematangan individu, tingkat kecerdasan dan faktor ekstrinsik adalah hal-hal yang berasal dari luar diri anak seperti: perlakukan orangtua, guru, dan masyarakat. 

B. Pengertian, Karakteristik dan Permasalahan Anak Tunagrahita
1. Pengertian
Dalam dunia pendidikan ditemukan anak-anak yang memiliki kecerdasan secara signifikan berada di bawah rata-rata pada umumnya dan disertai dengan hambatan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan termanifestasi selama periodE perkembangan. Di Indonesia anak-anak tersebut dikenal dengan istilah Tunagrahita (PP No72/91) dan isitlah-istilah lainnya adalah: mentally retarded, mental retardation, intellectually disabled, mentally handicapped. Demikan pula dengan definisi mengenai tunagrahita ada bermamam-macam, dan salah satu definisi yang dikenal adalah: definisi dari AAMD 1983 (Moh Amin, 1995:16) : Mental retardation reters to significantly subaverage general inrtellectual functioning existing concurently with deficits in adaptive behavior and manifested during the developmental period. 
Definisi tersebut menandakan bahwa dalam memandang ketunagrahitaan tidak hanya berdasarkan satu aspak misalnya hanya segi kecerdasan saja yang rendah tetapi harus melihat hal-hal lain seperti adanya ketidak mampuan dalam tingkah laku penyesuaian dan masa terjadinya. Ketiga hal itu harus dimiliki oleh seorang anak barulah ia dikatakan tunagrahita.

2. Karakteristik dan Permasalahan
Secara umum anak tunagrahita memperlihatkan ciri-ciri seperti:
a. Dalam segi kecerdasan: kapasitas belajarnya terbatas terutama pada hal-hal abstrak, mereka lebih banyak belajar bukan dengan pengertian
b. Sosial: dalam pergaulan mereka tidak dapat bergaul atau bermain dengan teman sebayanya, mengalami kesulitan dalam merawat diri, mengurus diri, menolong diri, berkomunikasi, dan beradaptasi dengan lingkungannya
c. Fungsi mental lain: sulit memusatkan perhatian, mudah lupa, menghindari diri dari perbuatan berpikir
d. Dorongan dan emosi: mereka jarang memiliki perasaan bangga, tanggung jawab, penghayatan, bagi yang berat hampir-hampir tidak mampu untuk menghindari bahaya, dan mempertahankan diri 
e. Organisme; bagi tunagrahita ringan hampir tidak terlihat perbedaannya dengan anak normal, namun keberfungsian fisik kurang dari anak normal.

Berdasarkan keterbatasan di atas maka muncul lah permasalahan bagi anak tunagrahita, diantaranya:
a. Kesulitan dalam kehidupan sehari-hari serperti dalam melakukan kegiatan bina diri. Oleh karena itu mereka perlu mendapat pembelajaran atau latihan yang rinci dan rutin mengenai kegiatan Bina Diri
b. Kesulitan dalam belajar: kesulitan ini terutama dalam bidang pengajaran akademik misalnya Matematika, IPA, Bahasa, sedangkan bidang pengajaran non akademik mereka tidak banyak mengalami kesulitan. Oleh karena itu mereka membutuhkan model bahan ajar dan model program serta pendekatan yang bervariasi
c. Masalah penyesuaian diri: kesulitan dalam hubungannya dengan kelompok maupun dengan individu di sekitarnya, mereka juga cenderung dijauhi oleh lingkungannya dan tidak diakui secara penuh sebagai individu. Hal ini berakibat pada pembentukan keperibadiannya. Karena itu mereka membutuhkan latihan pengembangan kemampuan adaptasi dengan lingkungan baik di keluarga, sekolah dan masyarakat
d. Masalah penyaluran ke tempat kerja: anak tunagrahita masih banyak menggantungkan diri kepada orang lain apalagi untuk bekerja, setelah tama sekolah mereka banyak menggantungkan diri pada keluarga, atau berdiam diri. Lebih-lebih bila di sekolah mereka tidak mendapatkan latihan keterampilan yang memadai. Oleh karena itu pembelajaran bidang non akademik dan upaya penyaluran ke tempat kerja sangatlah dibutuhkan agar anak tunagrtahita dapat bekerja sesuai dengan keterampilannya
e. Masalah gangguan kepribadian dan emosi: mereka dapat berdiam diri berjam-jam, mudah marah dan mudah tersinggung, mengganggu orang lain dan ada juga yang merusak. Oleh karena itu mereka perlu diberikan kegiatan yang bermanfaat dan mendapatkan keberhasilan agar muncul rasa percaya diri.



3. Upaya Memandirikan Anak Tunagrahita
Perubahan paradigma mengenai Pendidikan Luar Biasa termasuk pendidikan anak tunagrahita dari penyelenggaraan yang berupa khusus (segregasi) ke penyelenggaraan saat ini menghendaki bahwa anak tunarahita diberi kesempatan seluas-luasnya untuk belajar, bermain, berkerja dan bergaul di masyarakat pada umumnya yang sesuai dengan keadaannya. Hal ini tentu menuntut kemampuan anak tunagrahita agar dapat menyatakan dan menyesuaikan diri sesuai dengan potensi yhang dimilikinya. Sebagaimana diketahui bahwa anak tunagrahita mengalami hambatan dalam kercerdasan maka target kemandiriannya tentu harus dirumuskan sesuai dengan potensi yang mereka miliki, sehingga dapat dikatakan bahwa mandiri bagi anak tunagrahita adanya kesesuain antara kemampuan yang aktual dengan potensi yang mereka miliki. Jadi pencapaian kemandirian bagi anak tunagrahita tidak dapat diartikan sama dengan pencapaian kemandirian anak normal pada umumnya.

4. Upaya mencapai kemandirian anak tunagrahita
a. Pemahaman dan pengenalan akan keberadaan anak tunagrahita secara komprehensif Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan asesmen sehingga dapat diketahui bagaimana kemampuan anak dalam aspek fisik, intelektual, sosial dan emosi. Hasil asesmen digunakan untuk menyusun intervensi baik itu berupa pembelajaran maupun pelatihan atau pekerjaan.
b. Optimalisasi pelaksanaan bidang pembelajaran baik bidang akademik, bina diri, dan keterampilan. Hal-hal tersebut dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya baik rancangan tujuan, materi, metode, alat, dan media pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan anak-anak tunagrahita sehingga mereka dapat mencapai hasil yang optimal dan pada akhirnya akan muncul rasa percaya diri.
c. Upaya pencapaian ciri-ciri kemandirian 

Beberapa upaya untuk mencapai ciri kemandirian yang sesuai dengan potensi yang dimiliki anak tunagrahita, diantaranya:
a) Menumbuhkan rasa percaya diri; dapat dilakukan dengan memberikan sikap positif pada anak tunagrahita melalui kedalaman dan keluasan atau tingkat kesulitan dalam memberikan tugas sesuai dengan kemampuannya. Tiap keberhasilan harus diberikan imbalan berupa reinforcement
b) Menumbuhkan rasa tanggung jawab; dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada anak tunagrahita untuk berbuat, misalnya diberikan tugas-tugas sederhana di rumah, di sekolah, di masyarakat.
c) Menumbuhkan kemampuan menentukan pilihan dan mengambil keputusannya sendiriUntuk menumbuhkan hal tersebut diperlukan adanya peluang dan kepercayaan yang diberikan kepadanya agar terbiasa untuk mengambil keputusan. Tentu saja peluang itu harus berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh anak tunagrahita.
d) Menumbuhkan kemampuan mengendalikan emosi Untuk menumbuhkan kemampuan tersebut dapat dilakukan dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak tunagrahita untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya dan berusaha untuk dapat melakukan kegiatan yang dapat dilakukan orang lain walaupun hanya merupakan bagian-bagian terkecil dari kegiatan tersebut. 
e) Mengembangkan model bahan ajar/pelatihan pengembangan bahan ajar/latihan dapat dilakukan dengan menyusun model bahan ajar tematik dan program pembelajaran individual. Model bahan ajar tematik yang menjadi tema sentralnya adalah materi bina diri dan keterampilan karena kedua hal ini sangat dibutuhkan oleh anak tunagrahita yang diharapkan dapat mengantarkan anak ini ke arah kemandirian. Program pembelajaran Individual disusun berdasarkan kebutuhan anak tunagrahita dimana kedalaman dan keluasan materinya berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak-anak tersebut. Mengembangkan strategi dan pendekatan pembelajaran Strategi dan pendekatan perlu dikembangkan terus-menerus mengingat kemampuan pandangan masyarakat, kemajuan IPTEK, dan adanya keberagaman model-model pembelajaran Demikianlah uraian sederhana ini mudah-mudahan dapat digunakan untuk dalam meningkatkan kemandirian anak tunagrahita.






BAB III
PROGRAM PROMOSI

Model Promosi : Sosialisasi 
Bahan Sosialisasi : Materi yang disampaikan oleh pemateri
Tema : Meningkatkan Kemandirian Anak Tunagrahita
Judul : Anakku Mandiri!!!
Hari, Tanggal : Senin, 28 Mei 2018
Waktu : 09.00 sd 10.00 WIB (60 Menit)
Tempat : SLB Pelita Hati Pekanbaru
Peserta : Seluruh wali murid tunagrahita
Prosedur Pelaksanaan : Sosialisasi ini dilakukan dalam satu kali pertemuan dimana pelaksanaan terlebih dahulu meminta izin kepada pihak sekolah, selanjutnya sosialisasi dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Sosaialisasi disampaiakan oleh salah satu pemateri, kemudian peserta di diberi materi tentang cara meningkatkan kemandirian anak tunagrahita.  Sosialisasi dilakukan selama kurang lebih 60 menit.

Susunan Acara
No Waktu Kegiatan
1 09.00 - 09.05 Pembagian snack
2 09.05 - 09.15 Pembukaan dan perkenalan
3 09.15 - 09.45 Penyampaian materi
4 09.45 - 10.00 Tanya jawab
5 10.00 Penutup

Susunan Panitia
No Nama Penanggung Jawab
1 Hirmaningsih, S. Psi., M. Psi. Psikolog Pemateri
2 Karmila MC
3 Muhaimin Operator
4 Eka Istianah Dokumentasi
5 Riri Sapitri & Nadhifah S. R Konsumsi


DAFTAR PUSTAKA
Aftasony. 2015. Pola Asuh Orangtua Dalam Membentuk Kemandirian Siswa Tunagrahita (Studi Kasus di SMPLB Putra Jaya Malang). Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim: Malang
Aquari, Bina. 2017. Hubungan Peran Orang Tua Dengan Kemandirian Anak Retardasi Mental Di SLB Tunagrahita Karya Ibu Palembang Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Medical Sciences Ilmu Kesehatan. Vol.7 No.1
Benson, Nigel C & Simon Grove (Alihbahasa: Medina Chodijah). (2000). Mengenal Psikologi for Beginners. Bandung: Mizan
Chaplin, C.P, (Terjemah: Kartini Kartono). (1995).Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 
Gordon, Dale. (1992). One Teacher’s Classroom, Strategies for Successful Teaching and Learning. Melbouarne: Eleanor Curtain Publishing
Izzaty, R.E. 2005. Peranan Aktivitas Pengasuhan pada Pembentukan Perilaku Anak Sejak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana.
M. Ali & M. Asroni.(2004). Psikologi Remaja; Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara
Moh. Amin. (1995). Ortopedagogik Tunagrahita. Jakarta: P2TG Dirjen Dikti DepdiknasPeraturan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 1991. Tentang Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud




Comments

Popular posts from this blog

contoh Laporan psikologi wawancara ( KEBAHAGIAAN PADA LANSIA)

review jurnal psikologi perkembangan “Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Kecenderungan Memaafkan Pada Remaja Akhir”

Jurnal psikologi bahasa inggris beserta terjemahannya dalam bahasa indonesia